Masjid yang Sederhana, Namun Berkualitas
MASJID YANG SEDERHANA, NAMUN BERKUALITAS
Oleh
Syaikh Husein al-‘Uwaisyah[1]
Penglihatan kita sudah sangat familiar dengan masjid besar, megah dan penuh dengan berbagai ornamen penghias dilengkapi dengan fasilitas yang memanjakan badan, mulai dari permadani yang empuk dan AC yang menyejukkan ruangan masjid. Ini sudah biasa. Lalu, bagaimanakah perasaan kita tatkala melihat sebuah masjid yang kecil, sederhana tanpa ada ornamen yang membuatnya indah sebagaimana yang biasa kita lihat? Bangunan yang penuh dengan kesederhanaan, seakan biaya pembangunannya sangat sedikit atau “kurang”. Apa yang akan kita lakukan terhadap masjid seperti ini? Akankah kita merangkai kata yang akan kita sampaikan dalam ceramah-ceramah atau dituliskan dalam selebaran yang disebar sehingga membuat orang yang melihat dan membacanya berurai air mata??? Ataukah kita berpaling darinya dan enggan melakukan ibadah di sana??
Tindakan manapun yang kita lakukan dari dua contoh tindakan di atas merupakan tindakan yang keliru.
BAGAIMANAKAH KEADAAN MASJID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM?
Agar kita bisa bersikap dengan benar, kita harus mengetahui kondisi masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata, bangunan masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bangunan yang sangat sederhana, atapnya dari pelepah kurma dan terkadang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersujud di masjid di atas tanah bercampur air.
Diriwayatkan dari Abu Salamah Radhiyallahu anhu , dia mengatakan, “Saya berangkat menuju Sa’id al-Khudriy, lalu mengatakan, ‘Maukah engkau keluar bersama kami ke bawah pohon kurma untuk bercakap-cakap?’ Dia keluar, lalu Abu Salamah Radhiyallahu anhu mengatakan, ‘Sampaikanlah kepada kami hadits yang engkau dengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang lailatul Qadr.
Abu Sa’id Radhiyallahu anhu mengatakan, ‘Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh pertama bulan Ramadhan dan kami juga ikut beri’tikaf bersama Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu malaikat Jibril Alaihissallam datang kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, ‘Sesungguhnya apa yang engkau minta ada dihadapanmu.’ Maka (setelah itu), Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh hari pertengahan (bulan Ramadhan).’ Lalu kami juga ikut beri’tikaf bersama Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu malaikat Jibril Alaihissallam datang kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, ‘Sesungguhnya apa yang engkau minta ada dihadapanmu.’
Pagi hari, pada tanggal 20 bulan Ramadhan, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar dan bersabda:
مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْيَرْجِعْ فَإِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَإِنِّي نُسِّيتُهَا وَإِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي وِتْرٍ وَإِنِّي رَأَيْتُ كَأَنِّي أَسْجُدُ فِي طِينٍ وَمَاء
Barangsiapa yang beri’tikaf bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hendaklah dia pulang! Karena sesungguhnya saya pernah diperlihatkan lailatul Qadr lalu saya dibuat lupa . Sesungguhnya lailatul Qadr itu ada pada malam ganjil sepuluh hari terakhir. Dan sesungguhnya saya melihat seakan saya sujud di atas tanah dan air.
Ketika itu atap masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbuat dari pelepah kurma, kami tidak melihat ada tanda-tanda (akan hujan) sedikitpun di langit, lalu tiba-tiba muncul gumpalan awan dan kami diguyur hujan. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat bersama kami sehingga kami bisa melihat bekas tanah dan air di kening dan ujung Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk pembenaran mimpi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[2]
Dalam hadits riwayat Imam Muslim rahimahullah, disebutkan bahwa Abu Sa’id al-Khudriy Radhiyallahu anhu mengatakan:
فَمَطَرَتْ حَتَّى سَالَ سَقْفُ الْمَسْجِدِ وَكَانَ مِنْ جَرِيدِ النَّخْلِ وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْجُدُ فِي الْمَاءِ وَالطِّينِ
Lalu hujan turun sehingga air hujan mengaliri atap masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu terbuat dari pelepah kurma, lalu didirikan shalat, maka saya melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud di atas air dan tanah
Dalam hadits di atas disebutkan bahwa atap masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbuat dari pelepah kurma, sehingga air bisa masuk ke masjid ketika hujan turun dan menyebabkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum sujud di atas tanah dan air.
BAGAIMANAKAH RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MENYURUH PARA SAHABATNYA KETIKA MEMBANGUN MASJID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM TERSEBUT?
Dijelaskan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ابْنُوهُ عَرِيشًا كَعَرِيشِ مُوسَى
Bangunlah masjid ini sebagaimana ‘arisy[3] nabi Musa[4]
Padahal ketika itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bias saja memerintahkan para Sahabatnya g untuk membangun masjid itu seperti istana yang penuh ornamen penghias. Namun, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meminta itu, padahal Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu melakukannya, maka tentu meninggalkan itu lebih baik dan itu sama dengan mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (sunnah), mendatangkan kebaikan, keberkahan dan keselamatan. Karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma , dia mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَتُزَخْرِفُنَّهَا كَمَا زَخْرَفَتْ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى
Sungguh kalian akan menghiasi masjid-masjid itu sebagaimana orang Yahudi dan Nashara telah menghiasi (tempat ibadah mereka)[5]
Dari Anas Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِى الْمَسَاجِدِ
Kiamat tidaklah terjadi hingga manusia berbangga-bangga dalam membangun masjid[6]
Inilah yang sedang kita saksikan dan lihat saat ini. Banyak kaum Muslimin yang membangga-banggakan dan berlomba-lomba dalam menghiasi dan mempercantik masjid-masjid mereka, padahal keutamaan membangun masjid akan didapatkan oleh siapapun juga selama dia ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla , sekalipun masjid yang dibangunnya kecil.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ لبيضها بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ
Barangsiapa membangun masjid karena Allâh walaupun hanya seukuran lubang tempat burung bertelur, maka Allâh bangunkan baginya (rumah) di surga.[7]
Mafhash qathaah dalam hadits di atas artinya lubang yang dipakai oleh burung untuk menaruh telur dan menderum di tempat tersebut. Qathah adalah sejenis burung.
Dari Jabir Radhiyallahu anhu , dia mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ أو أَصْغَرَ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ
Barangsiapa membangun masjid karena Allâh walaupun hanya seukuran lubang tempat burung bertelur atau lebih kecil dari itu, maka Allâh akan bangunkan baginya (rumah) di surga[8]
Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu ketika memerintahkan untuk membangun masjid, beliau Radhiyallahu anhu mengatakan:
أَكِنَّ النَّاسَ مِنْ الْمَطَرِ وَإِيَّاكَ أَنْ تُحَمِّرَ أَوْ تُصَفِّرَ فَتَفْتِنَ النَّاسَ
Jadikanlah ia bangunan yang bisa melindungi manusia dari hujan! Jangan kamu warnai dengan warna merah atau kuning agar engkau tidak menfitnah manusia[9]
Anas Radhiyallahu anhu mengatakan, “Mereka merasa bangga dengan masjid-masjid, namun mereka tidak memakmurkan, kecuali sedikit saja.”
APA YANG DIHASILKAN OLEH MASJID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM?
Setelah membaca keterangan di atas, terbayang dibenak kita, Masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebuah masjid yang sangat sederhana. Namun dari bangunan yang sederhana itulah, Islam berjaya dan dikenal di seluruh penjuru dunia.
Bukankah masjid yang sederhana itu telah melahirkan para tokoh-tokoh Sahabat Radhiyallahu anhum ?
Bukankah dari bangunan sederhana itu keluar para pejuang Islam yang telah menaklukkan berbagai negeri yang menghalangi dakwah Islam?
Dari pendidikan di masjid itu terlahir para komandan Islam yang disegani. Dan dari masjid yang minim fasilitas itu, cahaya Islam terpancar ke seluruh alam.
Itulah masjid yang mengajarkan kepada kaum Muslimin tentang praktek î’tsâr (prilaku yang lebih mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri dalam masalah dunia-red), cinta kasih, pengorbanan, ketegaran, kebahagiaan dan hal-hal positif lainnya.
Itulah masjid yang sangat memperhatikan pendidikan dan pembersihan jiwa kaum Muslimin. Sangat perhatian dengan perkembangan bathin, perhatian dengan inti dan perhatian kepada manusia, (bukan fisik bangunan-red).
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kehancuran menimpa umat yang sangat perhatian dengan tembok bangunan, namun melupakan kaum Muslimin; juga sangat perhatian dengan masalah perhiasan dan ornamen, namun mengabaikan sisi pendidikan akhlak dan prilaku.
Jika faktanya benar seperti ini, maka alangkah menyedihkan!
Sekarang dibanyak tempat, kita dapati bangunan-bangunan masjid itu besar dan megah, lantainya dilapisi permadani indah mempesona dan empuk, atapnya kokoh dan kuat, kedap air sehingga tidak bocor ketika hujan turun, walaupun hanya setetes. Tidak hanya itu, AC yang terpasang di sana menghembuskan udara dingin atau sejuk yang memanjakan badan. Kita tidak usah berbicara tentang biaya pembangunan, karena bisa dipastikan biayanya besar, adapun tentang ornamen penghias masjid, maka lihatlah betapa indah dan betapa banyaknya. Seakan ornamen penghias itu menjadi bagian terpenting dari sebuah bangunan masjid atau seakan-akan pernak-pernik perhiasan itu menjadi sarana untuk menarik manusia agar mau berangkat ke masjid dan betah di sana.
Ironisnya, jika kita datang melihat lalu menghitung jumlah shaf orang yang melakukan shalat Shubuh atau shalat-shalat lainnya di masjid-masjid itu, maka kita tidak perlu menguras banyak tenaga untuk melakukannya, karena jumlahnya tidak banyak.
Lebih menakjubkan lagi, jika kita membandingkan antara generasi yang tumbuh berkembang di masjid yang penuh perhiasan serta kenyamanan dengan generasi para Sahabat yang mereka dahulu sujud di atas tanah atau di atas tanah bercampur air hujan, kita dapati generasi yang tumbuh dalam masjid yang indah nan nyaman itu sangat berbeda dengan generasi pendahulu mereka, bahkan terkadang kita dibuat tidak percaya mereka itu generasi Islam. Mereka generasi yang ingin meraih surga bahkan surga tertinggi yaitu Firdaus, namun mereka tidak mau pakaian mereka terkena debu atau tidak mau tertusuk duri atau tidak mau bersusah payah.
Kita sering mendengar tentang akhlak îtsâr (yaitu perilaku yang lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri dalam urusan dunia-red), menepati janji, semangat berkorban dan berbagai kisah menarik lainnya, namun kedua mata kita jarang sekali melihatnya dalam dunia nyata. Ini mengingatkan kita terhadap firman Allâh Azza wa Jalla:
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan [Ash-Shaff/61 :3]
(Semoga saja mereka menyembunyikan perbuatan-perbuatan baik mereka demi menjaga keikhlasan dan ketulusan jiwa mereka dalam beramal-red)
Alangkah banyaknya ucapan yang keluar dari lisan kita, namun amal baik kita sangat sedikit. Dan alangkah sedikitnya ucapan para Sahabat, namun amal baik mereka begitu banyak dan melimpah.
(Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk generasi yang berantusias dan siap mengikuti generasi para Sahabat dalam melakukan berbagai kebaikan yang diajarkan Islam.-red)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari kitab beliau Fiqhud Dakwah Wa Tazkiyatun Nafsi, hlm. 544-547
[2] HR. Al-Bukhâri, no. 812dan Muslim, no. 1167
[3] ‘arîsy : segala yang dipakai berteduh yang jika orang yang berteduh mengangkat tangannya maka tangannya bisa menyentuh atap
[4] HR. Ibnu Abi Dunya, Ibnu Abi Syaibah dan yang lainnya. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Ash-Shahîhah, no. 616
[5] HR. Abu Daud. Lihat, Shahîh Abi Daud, no. 431. Imam al-Bukhari rahimahullah menyebutkan perkataan ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma itu secara mu’allaq dalam Kitab Shalat, Bab Bunyanul Masâjid
[6] HR. Abu Daud. Lihat, Shahîh Abi Daud, no. 432
[7] HR. Ahmad dan al-Bazzar. Dan hadits ini dihukumi shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb, no. 272)
[8] HR. Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahîh beliau dan Syaikh al-Albani rahimahullah menilainya sebagai hadits shahih dalam kitab Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb, no. 271)
[9] Disebutkan oleh Imam al-Bukhâri secara mu’allaq dengan menggunakan lafazh yang tegas, Kitab Shalat, Bab Bunyanul Masâjid
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/6389-masjid-yang-sederhana-namun-berkwalitas.html